Suatu saat K.H. Ahmad Umar Abdul Manan (1916 – 1980), pengasuh Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan Solo, memanggil lurah pondok. “Aku minta dicatatkan nama-nama santri yang nakal ya! Dirangking ya. Paling atas ditulis nama santri ternakal, nakal sekali, nakal dan terakhir agak nakal.”
Lurah pondoknya girang bukan main. Karena sudah beragam cara diupayakan untuk mengingatkan santri-santri nakal itu. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka sudah beku hatinya.
Dengan penuh semangat, dijalankanlah perintah Kiai Umar tersebut. Nama-nama santri itu ditulis besar-besar dengan spidol. Ternakal fulan bin fulan asal dari daerah A. Nakal sekali fulan bin fulan dari daerah B sampai santri yang agak nakal. Setelah catatan selesai dibuat, kemudian diserahkan kepada Kiai.
Lurah pondok itu menanti seminggu, dua minggu, kok tidak ada tindakan apa-apa. Pikirnya dalam hati, “Kok santri-santri yang nakal masih tetap nakal ya. Kok tidak diusir atau dipanggil Kiai.”
Akhirnya lurah pondok itu memberanikan diri matur kepada Kiai Umar. “Maaf Kiai, santri-santri kok belum ada yang dihukum, ditakzir atau diusir?”
“Lho, santri yang mana?”
“Santri yang nakal-nakal. Kemarin anda minta daftarnya.”
“Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau disini nakal terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke pesantren itu biar tidak nakal.”
“Kok anda memerintahkan mencatat santri-santri yang nakal itu?”
“Begini, kamu kan tahu tiap malam aku setelah sholat tahajud kan mendoakan santri-santri. Catatan itu aku bawa, kalau aku berdoa mereka itu saya khususkan. Tanya dululah kalau belum paham.”
* * *
Cerita ini pernah saya sampaikan di sebuah daerah di Jawa Tengah. Ada Kiai muda mengundang saya untuk mengisi ceramah di acara khataman quran di pesantrennya. Ada puluhan ribu orang yang hadir. Dalam kesempatan itu saya ceritakan kisah di atas. Saya suka menceritakan kisah ini, karena apa yang dilakukan Kiai Umar sesuai dengan yang dipesankan ayah saya, bahwa mengajar harus lahir batin. Saat saya sampaikan cerita ini, para hadirin tertawa semua. Hanya satu orang yang tidak tertawa. Kiai muda itu terlihat menunduk diam. Pikir saya, “Apa Kiai ini tidak paham yg saya sampaikan atau bagaimana? Kok tidak ada ekspresi apa-apa saat dengar cerita saya.”
Pada saat turun dari podium, saya dirangkul oleh kiai itu. Dia membisikkan sesuatu, “Masya Allah, alhamdulillah Gus, jenengan tidak menyebut nama. Sayalah daftar ternakalnya Kiai Umar.”
Kaget, heran dan kagum saya, dengan statusnya dulu sebagai santri ternakal, dia sekarang jadi kiai dengan ribuan santri.
Kisah di atas disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri dalam haul KH. Umar Abdul Manan di Pondok Pesantren Al Muayyad Solo.
Luar biasa. Kiai-kiai jaman dulu mendidik tidak hanya mengajar secara lisan saja. Tetapi juga dibarengi dengan laku tirakat dan doa. Bahkan, saat santrinya sudah pulang ke rumahpun masih diperhatikan dan didoakan. Dikunjungi, dipantau dan ditanyakan perkembangannya. Itulah rahasia keberkahan ilmu para alumnus pesantren. Doa guru.
* * *
Tidak ada kata putus asa dalam berupaya. Saat usaha kita mendidik tidak menghasilkan perubahan. Jangan menyerah. Serahkan hal ini kepada Yang Maha Kuasa. Kiai Umar memberikan keteladanan itu.
Sumber: PondokPena
Comments
Post a Comment