(Cerita Ulama Aswaja)
Guru Manshur berasal dari Kampung Sawah, Jembatan Lima, bernama lengkap M. Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri al-Batawi. Beliau satu generasi dengan Guru Mughni dari kampung Kuningan. Kedua tokoh ini pada zamannya disebut orang Betawi sebagai Paku Jakarta. Generasi Guru Manshur merupakan pelanjut ulama Betawi generasi Guru Mujtaba dari kampung Mester. Guru Mujtaba Mester adalah syaikhul masyaikh, guru dari segala guru.
Guru Manshur masih mempunyai hubungan biologis dengan trah Mataram dari garis ayah, yakni M. Manshur putera Imam Abdul Hamid putera Imam Muhammad Damiri putera Imam Habib putera Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram.
Pada 1894 saat usianya 16 tahun, Guru Manshur berangkat ke Mekkah bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Diantara gurunya di sana adalah Tuan Guru Umar Sumbawa, Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syaikh Muhammad Hayyath, Sayyid Muhammad Hamid, Syaikh Said Yamani, Syaikh Umar al-Hadhrami dan Syaikh Ali al-Muqri.
Setelah 4 tahun mukim di Mekkah, Guru Manshur lalu beberapa saat singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura, kemudian kembali tanah air. Sesampainya di kampung halaman, Guru Manshur membantu sang ayah mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah beliau mulai mengenal tokoh-tooh Islam seperti Syaikh Ahmad Surkati dan KH. Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.
Guru Manshur termasuk salah satu tokoh penggerak kemerdekaan Indonesia. Beliau bahkan menyerukan agar bangsa Indonesia memasang atau mengibarkan bendera merah putih, menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal, “Rempuk!” yang artinya musyawarah. Beliau juga meminta agar hari Jum’at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam.
Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama), Guru Manshur merupakan diantara ulama yang melakukan protes keras. Dan protes tersebut akhirnya berbuah hasil, pembongkaran masjid dibatalkan.
Pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan de facto Belanda, Guru Manshur sering berurusan dengan Hoofd Bureau kepolisian di Gambir karena beliau memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah. Meski berhadapan dengan ancaman bedil NICA/Belanda, Guru Manshur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih berkibar di menara masjid.
Guru Manshur pernah dibujuk kaki tangan Belanda agar mengubah sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda. Sebaliknya beliau diminta agar menurut saja apa yang dikehendaki Belanda seraya disodorkan setumpuk uang kepadanya. Namun bujukan itu ditolak mentah-mentah oleh Guru Manshur. “Islam tidak mau ditindas. Saya enggak mau ngelonin kebatilan!” Tuturnya dengan suara lantang.
Guru Manshur adalah idola masyarakat Betawi pada masanya. Masyarakat sangat menghormatinya, bahkan tokoh-tokoh Betawi seperti M. Natsir dan KH. Isa Anshari sering sekali berkunjung ke kediaman Guru Manshur. Baik M. Natsir maupun KH. Isa Anshari bila berkunjung ke kediaman Guru Manshur ditemani oleh Lurah Tanah Sereal M. Ramdhan.
Guru Manshur adalah ulama yang produktif, diantara karya tulisnya adalah; Sullam an-Nayrain, Khulasah al-Jadawil, Kaifiyat al-‘Amal Ijtima’, Khusuf wa al-Kusuf, Mizan al-I’tidal, Washilah ath-Thullab, Jadwal Dawair al-Falakiyah, Majmu’ Arba’ Rasail fi Mas-alat al-Hilal, Rub’ al-Mujayyab, Mukhtashar Iktima’ an-Nayrain, Tadzkirat an-Nafi’ah fi Shihhat ‘Amal ash-Shaum wa al-Fithr, Tudhul Adillah fi Shihhat ash-Shaum wa al-Fithr, Jadwal Faraid, al-Lu’lu al-Mankhum fi Khulashah Mabahits Sittah Ulum, I’rab al-Jurumiyah an-Nafi’ li al-Mubtadi, Silsilat as-Sanat fi ad-Din wa Ittishaluha Sayyid al-Mursalin, Tashrif al-Abwal li Matn bina Jidwal Qiblat, Jidwal Auqat ash-Shalah dan Tathbiq ‘Amal al-Ijtima’ wa al-Khusuf wa al-Kusuf.
Guru Manshur wafat pada hari Jum’at tanggal 12 Mei 1967 pukul 16.40 WIB. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Al-Mansuriah Kampung Sawah Jembatan Lima.
Lahu Al-Faatihah
Artikel lain dapat disimak di fahmialinh.wordpress.com
Comments
Post a Comment