Macam Cara Membalas Permusuhan

Ada beragam cara membalas permusuhan, pelecehan, dan bullying. Cara pertama dilakukan dengan sepadan: balas dengan telak. Cara ini berpotensi melahirkan dendam kesumat yang diwariskan turun temurun. Secara psikologis cara pertama ini juga kurang bagus karena bakal memunculkan paranoid, pobhia hingga trauma.

Cara kedua, balas dengan cinta kasih. Ini cara elegan nan cakep yang dilakukan oleh mereka yang punya mental baja dan ketahanan berproses. Di Liberia, ibu-ibu yang capek dengan konflik beraroma sektarian melakukan perlawanan dengan cara mogok seks. Mereka nggak bakal mau disetubuhi, kecuali papa-papa itu mau menimbun dulu bedilnya di luar kampung terlebih dulu. Jelas, bapak-bapak memilih kelonan dengan istrinya daripada mencumbu senapan. Aksi ini turut andil menghentikan perang saudara di negara kawasan Afrika tersebut. Aksi lebih elegan juga dilakukan Nelson Mandela. Saat dilantik sebagai presiden, ia mengundang bekas sipir penjara yang dulu sering melecehkannya di bangku undangan paling depan. Stok kisah semacam ini banyak, kok. Sekali lagi hanya mereka yang punya ketangguhan mental yang oke yang bisa melakukannya.

Cara ketiga: balas dengan kocak. Apabila balasan dengan senyuman belum cukup, keluarkan pertahanan humor. Ini cara yang sungguh-sungguh membangkitkan tawa sekaligus juga membuat jengkel pihak lawan. Soal ini Hadji Agoes Salim, negarawan sepuh pendiri republik ini banyak melakukannya saat berkonfrontasi dengan kelompok komunis maupun dengan politisi negara asing. Spontanitas dan kecerdasannya bermain olah kata membuat pengejek mati kutu dan wajah memerah padam. Google menyimpan banyak kisah tentang kecerdasan the old greatman ini. Cari saja sendiri.

Di lapangan hijau, Dani Alves melakukannya dengan elegan. Di saat ia bersiap-siap mengambil tendangan sudut, di belakangnya riuh suara pendukung Villareal menirukan suara monyet. Apakah bek Barcelona itu marah karena tindakan rasis suporter lawan yang juga melemparinya dengan pisang? Jelas, ia tersinggung. Tapi ia melakukan tindakan keren: ia ambil pisang yang nyaris mengenai dirinya, mengupasnya lalu menyantapnya. Kemudian ia melaksanakan tugas sebagai penendang sudut. Ini cara melawan rasisme lapangan hijau ala Alves di penghujung April 2014 silam, yang membuat petinggi FIFA angkat topi buat dirinya.

Sebelum Alves melakukan aksi cerdas ini, Samuel Eto'o sudah mengawalinya. Saat berkostum Barcelona dan bertandang di markas lawan, Eto'o adalah target utama rasisme. Ketika ia menggiring bola, teriakan ala monyet bersahutan di stadion. Apakah ia langsung ngambek lalu keluar lapangan seperti yang dilakukan Kevin Prince Boateng di AC Milan? Tidak. Eto'o malah menceploskan gol dan merayakannya dengan menirukan gerakan monyet di hadapan pengejeknya! Ahaaa, aksi tarian monyet ala Eto'o membungkam para suporter rasis.

Bagi saya, hanya mereka yang punya mental tangguh dan citarasa humor berkelas yang punya gaya unik membalas cemoohan. Tahu, bagaimana anak-anak Jokowi bermain olah kata saat dibully di medsos? Kasihan juga nih orang, mereka dibully hanya karena mereka anak Jokowi. Tapi salut juga dengan caranya merespon para pembencinya. Saya ngakak membaca tindakan Gibran dan Kaesang dalam menghadapi kebencian yang dipadupadankan dengan cemoohan itu bukan hanya dengan santai tapi dengan cerdas dan jenaka. Papa Doyan Lontong adalah istilah dari Gibran untuk "membalas" tindakan dosen pengecut yang membuat tagar Papa Doyan Lonte. Ada juga istilah "kecebong", "Oey Hong Liong" dan "Herbertus". Pembela Jokowi dan Prabowo pasti sudah paham dengan istilah ini. Tapi oleh anak anak Jokowi, ketiga istilah ini malah digunakan secara kocak. Hahaha...

Ada beragam cara menyikapi segenap kebencian dan serangan verbal. Bisa dengan serius bertele-tele, diiringi seringai dan emosi yang memuncak, atau dengan kelembutan kasih sayang. Bisa juga dengan cara santai, tak terduga, kocak, dan membuat lawan merasa gemas. Cara terakhir ini yang bagi saya unik.

Oleh: Rizal Mumazziq

Comments