Perlukah Jam "Kerja" untuk Kiai?

 


• Jam "Kerja" Kiai • 


Dulu, ketika zaman masih kuliah, pernah Bapak saya nyeletuk ide;


"Kiai iku, yo perlu ditempeli jam sowan di depan pintu ndalem," ujar Bapak.


"Lha, lanopo lho Pak?" tanya saya agak protes.


"Ya, ben jelas. Kapan beliau itu kerso nerima tamu dan kapan beliau tidak menerima tamu. Kasian yang menunggu mau sowan, tp tidak dibukain pintu," jelas beliau melanjutkan.


"Lha kok kados dokter mawon, Pak. Wonten jam kunjung barang?" saya hendak menertawakan. 


"Lho... Yang namanya kiai itu kan dokternya masyarakat. Ada jam-jam tertentu yang beliau siap mengobati orang sakit. Dan ada jam-jam tertentu beliau butuh istirahat." pungkas Bapak. 


Saya waktu itu tetap gak bisa menerima ide Bapak. Menurut saya; seseorang yang sudah siap jadi kiai, mestinya sudah siap 24 jam menjadi khadimul ma'had wal ummah. 


10 tahun berlalu, semenjak meninggalnya Bapak. Hari ini saya tiba-tiba kembali teringat dialog tersebut. 


Diam-diam, dalam hati (yang kemudian saya ungkapkan lewat tulisan ini) saya membenarkan ide beliau. 


Kiai juga manusia. 

Beliau punya tubuh yang juga punya hak. Beliau punya keluarga yang punya hak pula.

Punya otak dan pikiran yang mesti diberi nutrisi keilmuan.


Setelah seharian penuh mengurus santri dan pondok, juga ngaji, ada waktu-waktu tertentu bagi beliau (kiai) untuk me-recharge fisik dan otak. Bisa dengan cengkerama bersama keluarga, bergelut dengan tumpukan dan lembaran kitab, atau mungkin istirahat sejenak memejamkan mata. 


Hari-hari ini, sebagai seorang musyrif asrama, saya merasakannya. Setelah seharian berpikir dan beraktivitas fisik ngopeni santri, tubuh butuh beberapa jenak untuk sekadar melepas penat. Sekadar mengatupkan pelupuk mata yang sudah mulai perih. Kurang waktu terpejam.


Waktu-waktu itulah yang mestinya akan terrrrasa nikmat untuk beristirahat. 


Pernahkah Anda bayangkan, saat lagi enak sak sliyeran istirahat siang. Di kamar yang dingin ber-AC pula. Tiba-tiba pintu kamar diketuk.


"Ustaaaaadzzzz...!" seorang santri memanggil.


Mata tergelagap bagun.

"Iya Nak... Ada apa?" saya bertanya. 


"Si Anu bajunya jatuh di jemuran," lapor si santri kecil.


Tuingggg...

"Ya diambil lho, Nak... Sampean dapet ganjaran engko."

"Iya, Ustadz..."


Di lain kesempatan.

Ada lagi yang ketuk pintu.


Pas lagi enak tidur, gelagapan bangun.

"Ada apa, Nak?" tanya saya.


"Niku Ustadz. Si fulan nyelok jenenge Bapak!" lapornya merasa terhina. Padahal, kan emang nama Bapaknya bener itu. 😄😄😄


"Yowessss... jawab saja; Bapakku ancen iku. Weeeek... 😝😝😝."

"Nggeh, Ustadz..."


Besoknya lagi. Ada pula yang bangunin pas tidur siang.


"Ada apa, Nak?"

"Niku Ustadz. Mau izin ndamel layangan," ujarnya. 


Toooeeengggg...

😅😅😅😅

Ingin tertawa tapi kok ngantuk.

Wkekekek....


Itulah beberapa contoh kecil yang sepertinya tidak pernah terbayangkan. Andai tidak kita alami sendiri.

Hal-hal yang bagi kita remeh begitu kadang bisa menjadi masalah bagi orang lain (yang masih kecil).


Warung Makan Sisilia Jaya,

17 Oktober 2020 

Follow at Instagram : @mskholid @ppcahayaquran

PP Cahaya Quran

Comments