Menyingkronkan Anak Pondok-an dengan Sekolah Formal



Ini PR besar saya.

Di musim liburan semester pertama, saya merasakan yang sulit dari anak-anak pondok adalah menyingkronkan anak Pondok dengan kegiatan formal sekolahan. 


Saya menemukan jawaban. 

Kenapa anak-anak pondok-an (di K****, misalnya) kerapkali dikeluhkan para guru. Mulai dari kasus ketiduran di asrama, sering tidak memakai sepatu (hanya sandalan), tidak berseragam, tidak garap PR, atau yang paling banyak itu terlambat datang di kelas. 


Jawabannya; pendampingan kurang maksimal.


Kasus anak terlambat sekolah, misalnya.

Ketika pagi-pagi sebelum jam 06.00 saya sudah urus sarapannya, anak-anak pun sudah sarapan. Mereka terlihat melek dan bercanda bersama temannya. 


Ya, saya tinggal saja menggeber motor menuju Kranji. Tugas ngajar--yang berangkatnya harus sebelum jam 6. Biar gak telat. 

Ndilalah, pas saya ngajar sekitar jam 9-10 ada laporan WA dari gurunya. Si A kemana kok gak masuk? 


"Lhoo... Tadi pagi baik-baik saja. Kok bisa gak masuk itu gmn?" Saya kaget sendiri.


Siang atau sorenya, saya pulang ke asrama. Saya tanyain si A alasan gak masuk. Dia bilang baju seragamnya masih basah.

Tuingggg...!!!!


Ini jelas butuh pendampingan intens sejak malam sebelum sekolah. Biar dia sudah persiapkan seragam sejak malam. 


Kalau kebetulan saya pas di asrama (tidak ada jadwal mengajar di Kranji), pasti saya paksa masuk. Sekalipun pakai baju seragam yang lain. Biasanya saya buatkan surat izin tidak berseragam. 


Kasus anak ketiduran di asrama, itu mirip-mirip juga. Habis sarapan pagi yang jam 06.00 itu, biasanya sebagian sudah saya suruh masuk kamar mandi. Sebagian lain, ngobrol di kamar sambil nunggu antrean. 


Aman.

Saya tinggal ke Kranji.

Ndilalah, ada laporan lagi si C tidak sekolah. Alasannya ketiduran. 

Kok bisa? Ya itu, pas lagi nunggu antrean  leyeh-leyeh kekenyangan. Tidur. Bablas sampe jam 09.00 baru bangun. 

Kalau saya ada di asrama, pasti saya paksa masuk ke sekolah sekalipun telat datang. 


Kalau "ketahuannya" sudah terlalu siang, pasti saya kasih pelajaran sendiri. Perkalian atau Penjumlahan matematika, misalnya.


Lagi-lagi masalah kontrol dan pendampingan yang harus full time hingga anak betul-betul sudah berangkat ke sekolah. Bila perlu dicek hingga masuk gerbang sekolah. 

Solusinya mungkin butuh musyrif (pembina) asrama lagi. 


Kasus anak gak nggarap PR. 

Bagaimana saya tau; lha wong pas takror malam. Usai shalat Isya', anak-anak ketika ditanya, jawabnya gak ada PR. Jadinya ya takror belajar biasa. Mengulang pelajaran saja. Ini terjadi jika yang duduk di kelas yang sama itu hanya satu anak. 


Solusinya;

Pondok harus tahu laporan harian aktivitas anak di sekolah. Minimal besoknya ada tugas apa, ada PR apa. Sehingga pembina asrama bisa membantu mempersiapkan di hari sebelumnya. (Laporannya minta ke siapa?)


Masalah ini, biasanya lebih mudah diatasi jika sekolahannya model boarding school. Yang sistem dan manajemen di sekolahan formal maupun asrama dipegang oleh otoritas yang sama. Mudah menyingkronkan. Apalagi yang mendampingi takror malam anak-anak itu adalah gurunya sendiri--yang juga ikut ngajar di sekolah formal. 


===


Yang mau nambah sharing pengalaman monggo. Insya Allah nanti akan saya bukukan. 


Drajat, 19 Desember 2020

@ms.kholid

Comments