Khutbah I
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضَ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَّليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ وبارك علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ.
أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ: اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ . فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar ...
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia...
Hari raya kurban atau biasa kita sebut dengan Idul Adha, yang kita peringati setiap tahun tak bisa lepas dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam. Sosok manusia pilihan ingkang patut kitho teladani dalam kehidupan sehari-hari. Julukan Nabi Ibrahim alaihissalam adalah Khalilullah (sang kekasih Allah) dan Abul Anbiya’ (bapaknya para nabi).
Sejarah mencatat; di antara 25 nabi yang diutus setelah Nabi Ibrahim, semuanya adalah anak keturunan Nabi Ibrahim as. Dari istri pertama; Sayyidah Sarah, Nabi Ibrahim dipun karuniai anak seorang Nabi yang Ishaq AS. Kemudian beliau melahirkan seorang nabi pula; inggih meniko Nabi Ya’qub As. Nabi Ya’qub As terkenal dengan nama Israel, sehingga anak keturunannya disebut dengan nama Bani Israel.
Bani Israel meniko, terkenal dengan kecerdasannya. Mayoritas nabi yang diutus setelah zaman Nabi Ibrahim berasal saking bani Israel. Beberapa nama nabi besar yang bisa kita sebut antara lain; Nabi Yusuf, Nabi Yunus, Nabi Ayyub, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Yahya, hingga Nabi Isa alaihimus salam. Semuanya adalah di antara keturunan Nabiyyullah Ibrahim AS dari jalur istri yang pertama.
Dari istri kedua, yakni Sayyidah Hajar, Nabi Ibrahim AS dipun karuniai seorang putra yang saleh. Yakni Nabi Ismail AS, yang mana dari keturunan Nabi Ismail inilah akan lahir seorang manusia terbaik, nabi pamungkas di akhir zaman, sang Teladan; Baginda Rasulullah saw.
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Sebagai sosok seorang ayah, Nabi Ibrahim bisa dibilang sangat sukses. Terbukti dengan; Allah SWT memilih anak keturunan beliau sebagai para nabi yang berdakwah dan menyeru kepada Allah SWT. Kita sebagai orangtua, yang tentu saja bercita-cita nggadahi anak keturunan yang saleh dan salehah; perlu menyimak kembali sekilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim AS sehingga bisa menjadi sosok khalilullah dan abul anbiya’---sosok manusia hebat yang melahirkan anak keturunan hebat pula.
Wonten beberapa pelajaran penting dari kehidupan beliau yang bisa kita petik hikmahnya;
Pertama, Hormat kepada Orangtua.
Nabiyullah Ibrahim as mempunyai seorang ayah bernama Azar. Ketika masih kecil, Ibrahim As sudah berbeda keyakinan dengan bapaknya—yang merupakan seorang pejabat negara urusan peribadatan (utawi ingkang ngurusi patung-patung berhala). Akan tetapi, ketika menasihati ayahnya yang syirik kepada Allah, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan ketinggian budipekerti dan akhlak mulia yang ditunjukkan lewat perkataan dan sikap yang baik kepada ayahnya.
Beliau menolak kebiasaan ayahnya dan kaumnya, yang menyembah berhala dengan menggunakan kalimat pertanyaan. Wonten ing surah al-Anbiya’ (52-54) disebutkan dialog Nabi Ibrahim dengan ayahnya:
اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadat kepadanya?”
قَالُوا۟ وَجَدۡنَاۤ ءَابَاۤءَنَا لَهَا عَـٰبِدِینَ ٥٣
Mereka menjawab, "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.”
قَالَ لَقَدۡ كُنتُمۡ أَنتُمۡ وَءَابَاۤؤُكُمۡ فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ ٥٤
Dia (Ibrahim) berkata, "Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata."
Nabi Ibrahim AS juga menunjukkan sebuah argumen ingkang masuk akal. Beliau berkata sebagaimana yang disebutkan dalam surah As-Shaffat ayat 95: قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ
"Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?”
Dengan kata-kata yang lembut dan masuk logis itulah, Nabi Ibrahim berharap supaya orangtua dan kaumnya bisa sadar dari kesesatan dan kemuyrikan. Bahkan, beliau juga mendoakan agar ayahnya itu mendapat hidayah dan ampunan Allah Swt.
رَبَّنَا اغۡفِرۡ لِىۡ وَلـِوَالِدَىَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ يَوۡمَ يَقُوۡمُ الۡحِسَابُ
Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat)."
Kita, sebagai anak, terkadang berbeda pendapat atau pandangan dengan orangtua tentang suatu masalah tertentu. Seringkali, kita terbawa emosi, marah, benci, bahkan mungkin menjurus kasar kepada orangtua. Padahal, sesungguhnya perbedaan pendapat tersebut bisa diselesaikan dengan hati lapang dan keterbukaan. Padahal, perbedaan tersebut hanyalah urusan kecil—yang amat tidak sebanding dengan perbedaan keyakinan antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya.
Pepatah Arab mengatakan: كما تدين تدان "Kamu akan diperlakukan sebagaimana kamu memperlakukan"
Keranten meniko, salah satu upaya kita nggadahi anak-anak keturunan ingkang shaleh salehah, anak-anak ingkang nurut dan berakhlakul karimah kepada orangtuanya ialah: memulai saking diri kita piyambak-piyambak. Yakni dengan cara berbuat yang baik, berkata yang sopan, lan taat dateng orangtua kita masing-masing. Fa-insya Allah, perilaku kita yang baik tersebut akan dilihat dan dados teladan anak keturunan kita; bagaimana cara memperlakukan orangtuanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Teladan Kedua saking Nabiyullah Ibrahim ialah: Beliau adalah Sosok cerdas yang menggunakan akalnya.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَٰهِيمَ رُشْدَهُۥ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِۦ عَٰلِمِينَ . (الأنبياء - 51
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (diutus menjadi Nabi), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.”
Dalam Tafsir Al-Wasith, Syekh Sayyid At-Thantawi menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sudah diberikan kecerdasan dan kemampuan untuk memilah kebaikan dan kebatilan sebelum diutus sebagai Nabi—bahkan sebelum baligh. Keistimewaan inilah yang menjadikan Nabi Ibrahim alaihissalam tetap mempertahankan tauhidnya di tengah-tengah para penyembah berhala. Beliau tidak terbawa arus keyakinan mayoritas masyarakatnya. Beliau justru berupaya melakukan perubahan dan penyadaran atas kesesatan masyarakatnya. Sikap dan prinsip ingkang teguh meniko, menjadikan beliau senantiasa berpegang teguh dan bersandar hanya kepada Allah Swt.
Kita tentu masih ingat peristiwa ketika beliau sedang dibakar api yang menyala-nyala oleh Raja Namrud. Datanglah Malaikat Jibril AS menawarkan bantuan, “Wahai Nabi Ibrahim, apa yang bisa aku bantu?”
Nabi Ibrahim menjawab, “Mohon maaf, saya tidak butuh bantuan dari Engkau, wahai Jibril. Aku hanya butuh bantuan dari Allah azza wajalla.”
Allah kemudian berfirman:
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ (69)
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”
Hingga api unggun yang menyala-nyala meniko habis dan padam, Nabi Ibrahim tetap segar bugar. Tiada satu pun anggota tubuh beliau yang terbakar. Bahkan, sehelai rambut pun tidak ada yang terbakar.
Ilmu, akal cerdas, dan pendidikan tinggi meniko tentu saja bakal memberi manfaat manakala anugerah yang diberikan Allah tersebut, kita gunakan secara baik dan benar. Jangan sampai kelebihan akal dan ilmu, membuat kita skeptis dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Apalagi malah cenderung mengikuti arus yang terjadi di masyarakat. Jika orang-orang baik, orang-orang yang berilmu tidak lagi peduli dengan permasalahan yang terjadi di sekitarnya, maka tinggal menunggu saja saat-saat ketika nilai-nilai kebaikan yang sudah berjalan bertahun-tahun, akan diganti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya.
Sikap peduli pada lingkungan sekitar, akan melahirkan karakter seorang pejuang. Tentu saja, sebagai orangtua, perilaku ini akan menjadi teladan bagi anak-anak kita. Keturunan kita akan manut lan mengikuti apa yang selama ini sudah kita perjuangkan; bisa dalam bentuk urip-urip agomo utawi kebaikan di lingkungan masyarakat. Bisa jadi, kebaikan dan kesuksesan yang kita perjuangkan belum tercapai di masa kita, akan tetapi baru tercapai dan diperoleh di zaman anak cucu lan keturunan kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Peristiwa ketiga dari kisah Nabi Ibrahim ialah kesabaran dan keteguhan hati beliau ketika meninggalkan anaknya Ismail kecil bersama Sayyidah Hajar di kota area Ka’bah dengan sedikit bekal. Ketika itu, Mekah tidak berpenduduk, tanahnya tandus, air pun sangat langka untuk didapat.
Ketika Ibrahim berbalik hendak pulang, Sayyidah Hajar memanggil-manggil Ibrahim—seakan mempertanyakan keputusan beliau meninggalkan anak dan istrinya di tanah Mekah tersebut. Berulang-ulang sang istri bertanya, namun Nabi Ibrahim tidak menoleh ke belakang dan tidak menjawab.
Hingga kemudian Sayyidah Hajar bertanya, “Apakah Tuhanmu yang menyuruh Engkau?”
“Iya,” jawab Ibrahim.
“Kalau memang demikian, kami tidak akan ditinggalkan (Allah).” Ujar Sayyidah Hajar.
Bagi orang yang tidak paham, mungkin akan menganggap Nabi Ibrahim sebagai raja tega yang tidak berperasaan kepada keluarganya. Anggapan ini jelas keliru! Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah atas perintah Allah SWT. Memang, ujian ini tidak ringan bagi beliau—apalagi harus meninggalkan anak satu-satunya yang sudah dinantikan sekian puluh tahun. Keengganan Ibrahim untuk berbalik, agaknya supaya tidak makin menunjukkan kepedihannya meninggalkan mereka berdua.
Teladan atas peristiwa ini bagi kita, mungkin akan kita temukan saat orangtua untuk pertama kalinya berpisah dengan sang buah hati. Manakala orangtua melepaskan anak tersayang untuk pergi ke pondok, mencari ilmu. Peristiwa tersebut, bisa jadi amat menyedihkan. Sang anak menangis, ayah dan ibunya juga menangis. Akan tetapi, kesedihan tersebut harus ditahan. Tidak boleh ditampakkan dihadapan sang anak—demi menyongsong masa depannya yang lebih baik.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS ketika berpisah dengan anak dan istrinya di Mekah, beliau mendokan:
رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ.
"Ya Tuhan kami, (aku tinggalkan sebahagian keturunanku di lembah yang gersang itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Maka, seyogianya orangtua harus bersabar dengan berpisah dengan ankanya. Orangtua harus senantiasa berusaha meneguhkan hati anaknya ketika menjalani kondisi yang mungkin tidak mengenakkan bagi sang anak selama di pondok. Bisa soal makanan, fasilitas kamar mandi, fasilitas kamar tidur, dan lain sebagainya. Tentu saja seraya terus mendoakan supaya sang anak menjadi anak menjadi generasi penerus yang saleh dan salehah, yang senantiasa mendirikan shalat serta diberikan rejeki yang berlimpah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Pelajaran keempat dari kisah Nabi Ibrahim terjadi ketika Nabi Ismail alaihissalam beranjak remaja. Ia menjadi seorang anak yang sholeh, taat, dan patuh kepada Allah Swt dan orangtuanya. Ketika itu, Nabi Ibrahim AS bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail AS. Terjadilah dialog antara ayah dan anak yang merupakan sebuah hubungan lan gambaran ketaatan kepada Allah Swt. Karakter seorang ayah yang membangun sebuah komunikasi dialogis-persuasif, membuat sang anak ikut meyakini apa yang diwahyukan kepada ayahnya. Firman Allah dalam Surah As-Shaffat ayat 102:
قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya, “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Kita melihat bagaimana sosok Nabi Ibrahim AS, sebagai orangtua yang sudah jelas saleh dan benar. Beliau tidak serta merta melakukan perintah Allah untuk menyembelih anaknya—sekalipun beliau meyakini kebenaran wahyu tersebut. Melihat anaknya yang sudah mulai dewasa, Nabiyullah Ibrahim AS mengajak dialog anaknya. Mencoba mendengar respon sang anak atas turunnya perintah tersebut.
Kisah ini adalah contoh bagi kita sebagai orangtua ketika berhadapan dengan anak yang sudah beranjak remaja. Tidak semestinya kita ujug-ujug memaksakan kehendak dan keputusan bagi anak, sekalipun apa yang kita perintahkan itu benar. Seyogianya kita meniru Nabi Ibrahim ketika berhadapan dengan sang anak. Yakni tetap menggunakan pendekatan dialogis, berkomunikasi dan bermusyawarah dengan baik—supaya anak bisa menerima apa yang mesti kita putuskan baginya.
Seringkali, seorang anak melawan dan menentang keputusan orangtuanya, bukan karena keputusan itu buruk. Akan tetapi, karena orangtua yang gagal memberikan penjelasan atau alasan-alasan logis kepada anak. Padahal, seandainya sebuah keputusan disampaikan dengan cara yang baik dan dialogis, anak akan cenderung menerima keputusan tersebut—bahkan justru menghargai dan semakin hormat kepada orangtuanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Keteladanan kelima atau yang terakhir saking sosok Nabi Ibrahim AS ialah beliau seorang pribadi yang dermawan, loman, dan sangat memuliakan tamu. Dikisahkan; ketika tengah malam, waktu di mana umumnya orang beristirahat, rumah Nabi Ibrahim AS diketuk tamu. Beliau tetap menjawab salam dan membukakan pintu untuk tamu tidak diundang tersebut. Saat membukakan pintu, Nabi Ibrahim AS ternyata tidak mengenal sama sekali sinten ingkang berdiri di depan pintu rumah beliau. Luar biasanya akhlak Nabi Ibrahim, tanpa banyak bertanya beliau mempersilakan tamunya masuk.
Tidak sampai di situ, Nabi Ibrahim AS lantas menjamu tamu tersebut dengan menu terbaik. Beliau dan istrinya bahkan sampai menyembelih seekor anak sapi untuk diolah menjadi gulai demi menjamu tamunya. Makanan terbaik pun disuguhkan. Akan tetapi, bukannya langsung dilahap, tamu Nabi Ibrahim AS hanya memerhatikan suguhan gulai dari bapak sang Khalilullah. Barulah Nabi Ibrahim sadar, tamunya adalah para malaikat yang sedang menyamar menjadi sosok manusia.
Di kisah lainnya, Nabi Ibrahim terkenal tidak mau makan jika tidak bersama orang lain. Sehingga, kita memasak beliau akan menyediakan porsi yang sangat banyak. Dalam sebuah riwayat, porsi masakannya bisa untuk ratusan orang. Tujuan beliau ialah supaya bisa memberi makan masyarakat di sekitar beliau. Kedermawanan dan kebaikan beliau ini membuatnya sangat dicintai oleh masyarakat. Tentu saja, berefek kebaikan bagi anak keturunanya.
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia...
Dalam sebuah ceramah pengajian, Almarhum Kiai Imam Syaerozi Babat bercerita; bahwa beliau pada waktu kecil, bukanlah anak yang pandai. Beliau anak yang biasa-biasa saja. Akan tetapi, ada satu kebiasaan yang paling beliau ingat dari ibundanya. Hampir setiap hari, ketika berangkat sekolah, ibundanya membekali Yai Imam Syaerozi kecil dengan jajan-jajanan; bisa ote-ote, godho gedang, atau sejenis lainnya. Jajanan tersebut dibawa Yai Imam Syaerozi ke sekolah untuk diberikan pada guru-gurunya di kantor. Kebiasaan seperti itu berlangsung terus menerus hingga beliau lulus sekolah.
Beliau, Imam Syaerozi menyatakan bahwa bisa jadi beliau bisa seperti saat ini, punya ilmu tinggi, mampu berdakwah kemana-mana, salah satunya ialah berkah doa dari para gurunya. Tentu saja, para bapak-ibu guru di sekolah akan sangat berterima kasih dan bersyukur terhadap pemberian jajanan tersebut. Rasa syukur dan keikhlasan yang kemudian melahirkan doa tulus bagi anak yang membawakan jajanan tersebut.
Dua contoh cerita terakhir di atas, setidaknya saget dados teladan dan pelajaran bagi kita bagaimana caranya supaya cita-cita nggadahi anak keturunan ingkang saleh dan salehah, sukses dunia hingga akhirat bisa kita wujudkan. Amin ya Rabbal alamin...
Maasyirol Muslimin, jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah...
Demikian khutbah Idul Adha yang mengangkat tentang keteladanan Nabi Ibrahim sebagai sosok yang sukses mempunyai keturunan para nabi dan orang-orang sholeh. Semoga bisa menambah pengetahuan kita sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan semoga Allah swt senantiasa menurunkan hidayah dan rezeki-Nya kepada kita sehingga kita bisa menjalankan tugas kita untuk beribadah khususnya mampu untuk melakukan ibadah haji dan berkurban. Amin ya Rabbal alamin.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Comments
Post a Comment